Monday 26 February 2018

PERKEMBANGAN PERS DI MASA KEPENDUDUDKAN JEPANG


Jepang menduduki Indonesia kurang lebih 3.5 tahun. Untuk meraih simpati rakyat Indonesia, Jepang melakukan propaganda tentang Asia Timur Raya. Namun, propaganda itu hanyalah demi kejayaan Jepang belaka. Sebagai konsekuensinya, seluruh sembur daya Indonesia diarahkan untuk kepentingan Jepang. Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintahan Jepang dan sifat pro-Jepang. Beberapa harian yang muncul pada masa itu, antara lain:
1. Asia Raya di Jakarta.
2. Sinar Baru di Semarang.
3. Suara Asia di Surabaya.
4. Tjahaya di Bandung.
Pers nasional masa pendudukan Jepang memang mengalami penderitaan dan pengekangan kebebasan yang lebih daripada zaman Belanda. Namun, ada beberapa keuntungan yang didapat oleh para wartawan atau insan pers di indonesia yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain sebagai berikut:

1. Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat-alat yang digunakan jauh lebih banyak daripada masa pers zaman Belanda. Para karyawan pers mendapatkan pengalaman banyak dalam menggunakan berbagai fasilitas tersebut.
2. Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin seering dan luas. Penjajah Jepang berusaha menghapus bahasa Belanda dengan kebijakan menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kesempatan. Kondisi ini sangat membantuk perkembangan bahasa Indonesia yang nantinya juga menjadi bahasa nasional.
3. Adanya pengajaran untuk rakyat agar berfikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber-sumber resmi Jepang. Selain itu, kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan semangat untuk melawan penjajah.

Pihak Jepang sendiri sudah mempunyai koran yaitu Tjahaja Selatan atas usaha Yanagi di Surabaya, dengan redakturnya orang Indonesia, Raden Mas Bintartie. Pernah juga diterbitkan majalah Bende dengan modal Jepang pula, tetapi tidak berusia lama. Yang agak berhasil ialah suratkabar Sinar Selatan (Semarang) yang dipimpin Itami Hiraki, mantan pegawai R. Ogawa, seorang pengusaha toko obat. Kedudukannya kemudian digantikan Mashoed Hardjokoesoemo. Dan ini berjalan hingga pasukan Jepang masuk ke Jawa (1942). Yang lebih terkenal ialah S. Kubo yang berusaha mendirikan suratkabar dengan modal Jepang; tetapi dalam perkembangannya justru gagal, dengan mengikutkan dua orang wartawan Indonesia terkemuka di zamannya, yaitu Saeroen dan Soediono Djojopranoto. Semula S. Kubo bersama rekannya telah berhasil menerbitkan suratkabar berbahasa Jepang, Java Nippo. Sewaktu timbul sengketa internal maka S. Kubo mendirikan suratkabar sendiri bernama Nichiran Sogyo Shimbun, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tohindo NippoPemerintah Hindia Belanda mencium bahwa Kubo berniat juga menerbitkan suratkabar dalam bahasa Indonesia, di samping usahanya yang sudah berhasil, menerbitkan suratkabar Cina dengan huruf Cina yang mempergunakan tenaga redaktur Cina. Usaha Kubo hendak diperluas, mengusahakan penerbitan Indonesia dengan tenaga Indonesia pula. Yang dihubungi adalah Saeroen. Antara keduanya kemudian tercapai persetujuan bahwa yang bergerak Saeroen dan  yang memodali pihak Jepang. Maka dibelilah percetakan Tjahaja Pasundan milik Sasmita. Untuk menghilangkan kecurigaan pihak pemerintah (Hindia Belanda), maka Sasmita pun dibenarkan tetap menjadi pemimpin percetakan ituSelang beberapa waktu kemudian S.Kubo mendapat kabar, bahwa proses pembelian percetakan kurang beres karena masih ada kekurangan pembayaran, meskipun kepada Saeroen telah diberikan uang seluruhnya. S. Kubo kemudian minta nasehat kepada atasannya yang ternyata adalah salah satu cabang atau bagian dari Kementerian Luar Negeri Jepang. Dengan adanya laporan Kubo itu maka usaha pemerintah mengusut liku-liku Jepang dalam usaha berpropaganda melalui pers di Indonesia mendapat jalan. Dalam perkembangannya, Saeroen ditahan, kemudian dijatuhi hukuman karena terbukti kesalahannya. Dengan adanya apa yang kemudian dikenal sebagaikubo-affair itu, gemparlah seluruh pers di Indonesia
Usaha Jepang untuk mempengaruhi masyarakat Indonesia dengan media massa tidak terhenti sampai di situ saja. Beberapa waktu sebelum Perang Pasifik pecah, dari Tokyo dengan gencar dan teratur tiap petang diadakan siaran radio. Yang menjadi penyiarnya adalah Jusuf Hassan; dan tiap kali sebelum penyiaran, dikumandangkan lagu Indonesia Raya. Begitu pula setelah perang Pasifik pecah, sering di daerah Surakarta dan Yogyakarta disebarkan selebaran-selebaran, mengajak rakyat berontak terhadap pemerintah Belanda, karena saatnya kini sudah tiba. Yaitu dengan kedatangan pasukan Jepang, sesuai dengan bunyi Ramalan\\ Jayabaya. Hanya saja dalam surat selebaran itu tidak disebutkan, bahwa orang cebol kepalang berkulit kuning itu hanya seumur jagung diam di Nusantara untuk kemudian pulang ke asalnya kembali
Tidak semua koran terbit tiap hari tetapi  ada yang hanya dua atau tiga kali tiap minggu. Pada tiap redaksi selalu ada orang Jepangnya yang menjadi Shidokan atau Pemimpin Umum. Kaum wartawannya digiring ke dalam Jawa Shimbunsha Kai (Perhimpunan Wartawan Jawa), kaum senimannya dihimpun dalam Keimin Bunka Shidoosho. Diterbitkanlah triwulanan Keboedajaan Timoer dan juga berkala Panggung Giat Gembira yang memuat kisah-kisah garapan Barisan Propaganda untuk dipentaskan di atas panggung sandiwara. Juga Badan Pembantu Perjurit mempunyai berkalanya sendiri yaitu Pradjoerit, diasuh Madikin Wonohito dan Itjiki sebagai Pengawasnya. Ada pula Djawa Baroe yang terbit dalam bahasa Indonesia diselingi bahasa Jepang dengan huruf Honji dan Katakana

Selain itu juga diadakan Peraturan Pemerintah tentang pelayanan terhadap wartawan  terdiri dari 11 pasal. Pasal pertama menyebutkan, semua pegawai suratkabar, termasuk pegawai Tata Usaha, kecuali pegawai rendahan tidak terhitung, disebut wartawan. Juga disebutkan, bahwa wartawan ada di bawah penilikan pegawai-pegawai pemerintah daerah masing-masing.
Pasal 8 dan 9 menetapkan hukuman bagi para wartawan jika melanggar maksud pemerintah. Kewajiban wartawan ialah semata-mata menyokong usaha pemerintah, Jika ada wartawan yang merintangi pekerjaan pemerintah, maka akan diambil sikap yang sekeras-kerasnya
Terjadi peristiwa penangkapan atas sejumlah wartawan. Korban pertama adalah Mr. Sumanang karena membiarkan korannya (Pemandangan) memuat gambar Tenno Heika kaisar Jepang tertutup oleh bulatan hinomaru (bendera Jepang). Juga Mohammad Tabrani ditangkap, karena di zaman Belanda dianggap menghasut R.H. Oned Djoenaedi agar tidak menjual Percetakan Pemandangan kepada pihak Jepang untuk menerbitkan suratkabamya. Juga R.M. Winarno Hendronoto ditangkap karena memasang bendera merah-putih di depan mobilnya. Sedangkan di Malang, Jawa Timur, wartawan Domei bernama Koesen dibunuh Kenpei dengan tuduhan mendengarkan siaran radio musuh. Ada yang berkisah, karena dia menyembunyikan orang yang kebetulan sedang dicari JepangBegitu pula di Kalimantan, sejumlah wartawan menjadi korban keganasan penjajah Jepang. Wartawan Anomputra di Kalimantan Barat dihukum mati dengan tuduhan mengadakan gerakan dibawah tanah untuk menumbangkan pemerintah yang sah. Korban lainnya adalah Housman Babou, M. Hohman, Anang Acil dan Amir Bondan, semuanya di Banjarmasin. Sedangkan Smits, pemimpin Borneo Post dipenggal kepalanya dan jenazahnya dibuang ke sungai Martapura, ketika Jepang untuk kali pertama menduduki Banjarmasin.
. Di zaman Jepang, koran-koran bisa menggunakan mesin dan percetakan yang semula dipakai oleh koran-koran Belanda, yang tentunya jauh lebih modern dan lebih canggih. Selain itu, di zaman Jepang koran-koran harus menggunakan bahasa Indonesia umum, dan dilarang menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa atau bahasa Indonesia yang tidak lazim.
Perkembangan bahasa Indonesia di zaman Jepang memang bagus dan menggembirakan. Dalam hal ini kaum wartawan Indonesia secara tidak langsun membantu memberi jasa. Sejumlah kaum intelek Indonesia dan Cina yang di zaman Belanda suka membaca koran Belanda dan suka berbahasa Belanda (juga di kalangan keluarga sendiri) terpaksa membaca koran dan majalah bahasa Indonesia.
Juga di zaman Jepang, kaum wartawan Indonesia meskipun secara lahiriah terhambat mengutarakan rasa pirasa hati serta pikiran, namun dalam kenyataannya mereka masih selalu mampu menyebarluaskan semangat kebangsaan, semangat untuk hidup merdeka dan mandiri, tidak dijajah oleh bangsa asing. Indonesia sudah merdeka, tetapi Jepang masih berkuasa. Pada awal September 1945 terbitlah koran gelap yang banyak ditempelkan di pohon- pohon di pinggir jalan atau di dinding-dinding gedung. Berita Indonesia yang diusahakan oleh sejumlah mahasiswa dan pelajar sebagai imbangan dari terbitnya Berita Gunseikanbu, koran Jepang yang khusus dicetak berisi pengumuman-pengumuman pemerintah militer, setelah Jepang kalah perang. Dalam perkembangannya, Berita Indonesia terbit terus, meskipun sering berganti pimpinan dan pemilik. Pemrakarsa terbitnya Berita Indonesia disebut-sebut Soeraedi Tahsin, Sidi Moharmnad Syaaf, Roesli Amran, Soeardi Tasrif dan Anas Maroef. oharmnad Syaaf, Roesli Amran, Soeardi Tasrif dan Anas Maroef.



No comments: